"إن عدم العلم بالدليل ليس حجة والعلم بعدم الدليل حجة"

“Tidak mengetahui adanya dalil itu bukan hujjah, yang menjadi hujjah adalah mengetahui tidak adanya dalil.”


[Ibnu Quddamah]

Sabtu, 08 Desember 2012

Semua Pasti Mati



[Majlis Akidah] Memikirkan mati memang bikin bulu kuduk merinding.  Paling tidak bikin kita berhenti sejenak, tertegun. Masa iya masih muda kudu mikirin mati? Tapi tenang saja. Tidak mungkin Allah dan Rasul menyuruh kita untuk sering-sering mengingat mati jika tak ada manfaatnya.
Kematian laksana pintu, begitu Rasul pernah menyatakan, setiap yang pernah hidup di dunia pasti memasukinya. Kematian itu resiko kehidupan. Tak seorang pun yang hidup kecuali akan mati. Karenanya jika tak mau mengalami mati, tidak usah hidup.  Dengan tegas al-quran menyatakan, setiap yang bernyawa akan merasakan kematian. (Ali Imran [03]: 185).
Jika ada seseorang yang berhak untuk hidup selama-lamanya, mungkin Rasulullah saw. paling berhak atas keistimewaan itu. Tapi nyatanya tidak. Jauh hari sebelum beliau wafat di usianya yang ke-63, Allah telah mengingatkan beliau akan kematian itu, sesungguhnya engkau akan mati sebagaimana mereka pun akan mati (Az-Zumar [39]:30).
Namun demikian, kita kudu memaklumi bahwa ada sebagian orang yang ketar-ketir dan sedih waktu menghadapi kematian. Mungkin karena memang takut atau karena belum siap menghadapinya.  Di antara manusia ada yang berkeinginan untuk hidup seribu tahu. (Al-Baqarah [2]:96).
Kita yang masih bernafas _masih hidup sehat wal ‘afiat, memang belum pernah merasakan kematian. (Ada yang mau coba?) Tapi dari penjelasan-penjelasan agama _baik al-quran atapun hadits Nabi, kita bisa menemukan bahwa kematian itu bukan sesuatu yang perlu ditakutkan.
Bukan Karena kematian tak akan menjumpai kita atau kita bisa lari darinya, tapi justru karena kita pasti mengalami dan senantiasa mempersiapkan kedatangannya.  Jika boleh berandai-andai, kematian itu ibarat tamu agung, maka harus ada persiapan khusus untuk menyambutnya.
Manusia terdiri dari dua unsur pokok; tanah dan ruh,  Keduanya tidak bisa dipisahkan. Jika terpisah, tidak lagi dikatakan sebagai manusia. Pertama kali manusia diciptakan dari tanah. Kemudian dihembuskan ruh setelah sempurna bentuknya (Shad [38]: 71-72).
Ada suatu saat ruh kita terpisah dari jasadnya. Saat tidur ruh kita digenggam oleh Allah dan dikembalikan lagi ketika kita terbangun. Jika kita sudah meninggal, maka ruh itu tetap dijaga dan dipelihara oleh Allah. (Az-Zumar [39]:42)
Ketika ditanya apa di surga ada tidur, Rasulullah saw. menjawab, “tidur itu saudara mati. Di surga tidak ada kematian, sehingga tak ada tidur.” (bukan berarti beliau saw. menyuruh kita untuk puas-puasin tidur ketika di dunia.)
Karenanya Rasulullah saw. mengajarkan kepada para sahabat _juga kepada kita umatnya, untuk membaca do’a setiap kali bangun tidur, “Segala puji bagi Allah yang telah menghidupkan kami setelah Dia mematikan kami.” (Artinya Allah membangunkan setelah menidurkan kita). Jika ngantuk itu nikmat dan tidur itu lebih nikmat, bukankah akan lebih nikmat lagi ketika kematian menjemput kita?
Kita percaya Allah yang menghidupkan dan mematikan kita. Kematian diberikan Allah kepada manusia yang pernah hidup di dunia. Setelah mati kita akan menuju Allah. Bukankah apa saja yang diberikan Allah itu baik?  Lagi pula, bukankah tempat yang akan kita tuju setelah melewati fase kematian itu tempat yang indah, yang luas, dan penuh dengan kenikmatan.
Memang, sikap manusia dalam menghadapi kematian akan beragam. Tergantung persiapan yang kita lakukan untuk menghadapinya. Orang yang yakin dan percaya bahwa tempat yang ditujunya lebih baik, dia akan merasa senang menuju tempatnya yang baru. Orang yang beriman, meninggal dalam keadaan tenang dan tersenyum. Karena ketika menghadapi kematian, mereka telah melihat dan merasakan kenikmatan-kenikmatan yang telah dijanjikan Allah. Kita simak firmanNya:
“Sesungguhnya orang-orang yang menyatakan (meyakini) bahwa Tuhan kami adalah Allah, kemudian istiqomah (berpegang teguh) dengan keyakinan tersebut, maka malaikat akan turun kepada mereka (di saat-saat kematian) sambil (menenangkan) dengan mengatakan, ‘Janganlah kamu merasa khawatir (menghadapi kematian), janganlah pula kamu merasa sedih (meninggalkan dunia dan keluarga), dan bergembiralah kamu dengan (memperoleh) surga yang telah dijanjikan Allah kepadamu. Kamilah Pelindung-pelindungmu dalam kehidupan dunia (bagi keluarga yang kamu tinggalkan) dan di akhirat (tempat kamu). Di dalamnya kamu memperoleh apa yang kamu inginkan dan memperoleh (pula) apa yang kamu minta.” (Fushilat [41]:30-31)
Ketika Ibrahim as. didatangi Izrail yang hendak mencabut nyawanya, ia berkata,  “Wahai Malaikat Maut. Bukankah aku ini khalilullah (kekasih Allah). Adakah kekasih yang menghendaki kekasihnya mati?” Izrail yang tak menemukan jawaban yang pasti, kembali ke hadapan Allah dan menyampaikan apa yang dikatakan Nabi Ibrahim as.
Kemudian Allah berfirman kepadanya, “Hai Izrail, sampaikan salamku kepada Ibrahim. Katakanlah kepadanya, ‘Adakah kekasih yang tak ingin segera bertemu dengan kekasihnya?’" Izrail menyampaikan apa yang telah diamanahkan kepadanya. Mendengar itu, Nabi Ibrahim pun bersedia dicabut nyawanya, tentunya dengan husnul khotimah.
Sebaliknya, orang akan takut dan khawatir meninggalkan dunia ini jika merasa tempat yang akan ditujunya lebih buruk dan lebih sempit ketimbang tempatnya di dunia.
Allah menggambarkan keadaan mereka ketika menghadapi kematian, “Kalau kamu melihat ketika para malaikat mencabut jiwa orang-orang yang kafir seraya memukul muka dan belakang mereka dan berkata, "Rasakan olehmu siksa neraka yang membakar". tentulah kamu akan melihat suatu pemandangan yang sangat mengerikan.” (Al-Anfaal [8]:50)
Suka atau tidak suka, kematian pasti datang. Izrail akan menemui kita untuk melaksanakan tugasnya. Senang atau tidak senang dalam menghadapi kematian, semua tergantung pada sikap kita dan bagaimana cara kita mempersiapkannya. Orang yang senang bertemu dengan Allah, maka Allah akan senang bertemu dengannya. Sementara orang yang suka bertemu dengan Allah, maka Allah tidak akan suka bertemu dengannya.
Rasulullah saw. bersabda, “Seorang mukmin apabila diberi kabar gembira dengan rahmat Allah, keridaan dan surga-Nya, maka dia akan senang bertemu dengan Allah dan Allah akan senang bertemu dengannya. Dan orang kafir apabila diberitahukan tentang siksaan serta kemurkaan Allah, maka dia akan membenci pertemuan dengan Allah sehingga Allah pun akan membenci pertemuan dengannya. (Shahih Muslim No.4845 hadits dari Aisyah ra.)
Sejatinya orang yang senang bertemu dengan Allah, yang telah diberi kabar gembira dengan rahmat, ridha, dan surganya, sudah pasti akan mempersiapkan perbekalan sebelum ajal menjemputnya. Allah swt berfirman, "Barang siapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorang pun dalam beribadah kepada Tuhannya." (Al-Kahfi [18: 110) ***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar