[Majlis Ibadah] Bagi
sebagian masyarakat, bau kemenyan diidentikan dengan ritual perdukunan atau pemanggilan
roh. Sementara sebagian yang lain menganggapnya sebagai pengharum ruangan. Persoalan
ini akan lebih bisa dipahami jika kita merujuk pada hokum asalnya.
Hukum
asal benda adalah mubah alias boleh, selama tidak ada dalil yang
mengharamkannya. Jika dupa atau kemenyan seperti yang biasa dibakar dan
digunakan pada acara pengajian akbar dan
perayaan maulid, maka hukumnya sunah. Karena tujuannya untuk membuat wangi
ruangan.
Namun
jika digunakan untuk hal-hal yang bertentangan dengan Islam, seperti untuk
memanggil roh atau jin kafir untuk membantu menyelesaikan urusan, maka hukumnya
bisa haram. Jadi hukum membakar kemenyan atau dupa tergantung pada niatnya
penggunaannya.
Rasulullah
saw. sangat menyukai wangi-wangian, baik hasil ekstrak bunga ataupun dari
pembakaran berupa kayu gaharu yang dirajang kecil-kecil seperti yang dilakukan
oleh orang-orang Arab hingga kini. Tujuannya sebagai pengharum ruangan.
Beberapa
sahabat seperti Abu Sa’id, Ibnu Umar, dan Ibnu ‘Abbas ra. berwasiat agar kain
kafan mereka diukup (diasapi) dengan kayu gaharu. Beliau saw. sendiri
memerintahkan para sahabat untuk mengukupi kain kafan mayit dengan ganjil, tiga
kali. [HR. Ibnu Hibban, Al-Hakim, al-Dailami, dan Imam Ahmad] juga pada saat
berkumpul di dalam mesjid mengadakan sebuah acara. [HR. Al-Thabrani]. ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar