"إن عدم العلم بالدليل ليس حجة والعلم بعدم الدليل حجة"

“Tidak mengetahui adanya dalil itu bukan hujjah, yang menjadi hujjah adalah mengetahui tidak adanya dalil.”


[Ibnu Quddamah]

Rabu, 05 Desember 2012

Makna Ibadah

[Majlis Ibadah] Ibadah secara bahasa _diambil dari bahasa Arab, artinya melayani, patuh, atau tunduk. Orang yang melakukan ibadah disebut ‘abid alias hamba atau budak. Apa yang dimiliki seorang budak? Tidak punya apa-apa. Bahkan, dirinya sendiri pun milik tuannya. Karenanya semua aktivitas yang dilakukan seorang hamba hanya untuk memperoleh keridhaan tuannya.
Sebagai makhluk yang diciptakan Allah, manusia kudunya sadar bahwa ia hidup hanya untuk melakukan penghambaan kepada Allah. Sebagai konsekuensi telah dilahirkan, diberi rizki dan akal pikiran, serta kesehatan sehingga bisa menjalani kehidupan ini dengan semestinya. Penghambaan inilah yang dinamakan dengan ibadah. Allah menegaskan bahwa manusia juga jin _baik yang beriman atau yang kafir, diciptakan untuk beribadah kepadaNya (al-Dzariyat: 56).
Apa yang dimaksud dengan ibadah? Allah menegaskan ibadah sebagai jalan yang lurus (Yasin: 61) Sedangkan orang-orang yang berada di jalan yang lurus itu adalah mereka yang berpegang teguh pada apa yang telah diwahyukan Allah (Al-Zukhruf :43). Karenanya seseorang dikatakan beribadah kepada Allah jika dalam menjalani hidupnya selalu berpegang teguh pada wahyu Allah.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengartikan ibadah sebagai segala sesuatu yang dicintai Allah dan diridhai-Nya, baik berupa perkataan maupun perbuatan, yang tersembunyi (batin) maupun yang nampak (lahir).[1]
Apa saja yang kita lakukan, entah itu shalat, baca al-quran, belajar di sekolah, diskusi sama temen-temen, berbakti sama ortu, atau ngasih makan kucing kelaparan di pinggir jalan, jika mengharapkan keridhaan Allah, maka akan dinilai ibadah. Saking luasnya makna ibadah, ulama membaginya menjadi dua kategori, yaitu ibadah mahdhah dan ghair mahdhah.
Ibadah mahdhah yaitu ibadah murni yang secara khusus melibatkan hubungan hamba dengan Tuhannya seperti shalat dan puasa. Karenanya dalam menjalankan ibadah mahdah ini dilandaskan pada asas ketaatan, kudu bersumber dari dalil yang jelas, dan tatacaranya kudu mengikuti apa yang sudah dicontohkan oleh Rasul (an-Nisa:46). Selain itu, ukuran ibadah mahdhah tidak didasarkan pada logika. Artinya tidak semua perintah itu harus dipahami oleh akal.
Ada beberapa perintah ibadah yang tidak bisa dijangkau oleh akal karena sifatnya yang terbatas. Misalnya buang angin alias kentut yang membatalkan wudhu. Agama tidak menganjurkan untuk membersihkan dubur ketika mau shalat, tapi cukup dengan berwudhu lagi. Dengan demikian, ibadah mahdhah dirumuskan sebagai perbuatan yang dilakukan karena Allah dan sesuai syariat.
Sedangkan ibadah ghair mahdhah yaitu ibadah yang hubungannya tidak semata melibatkan hamba dengan Tuhannya, tetapi juga hubungan hamba dengan makhluk Allah yang lain. Perbuatan ini boleh dilakukan asal tidak ada dalil yang melarangnya. Tata cara pelaksanaannya juga tidak harus seperti apa yang dilakukan oleh Rasul karena ada beberapa aktivitas di zaman sekarang yang tidak pernah ada di zaman Rasulullah. Inilah yang disebut dengan bid’ah hasanah.
Ibadah ghair mahdhah sifatnya rasional alias bisa diperhitungkan baik dan buruknya oleh akal. Karenanya asas yang digunakan dalam melaksanakan ibadah ini bukan ketaatan, tetapi asas manfaat. Jika perayaan maulid nabi itu bertujuan untuk mensyiarkan Islam dan menambah kecintaan kepada Rasul, maka boleh dilakukan meskipun di zaman Rasul dan para sahabat, praktik tersebut belum pernah ada. Karenanya ibadah ghair mahdhah dirumuskan sebagai perbuatan baik yang dilakukan karena Allah.
Kaidah ushul fikh menyebutkan, asal ibadah itu dilarang sebelum ada dalil yang mensyariatkannya. Artinya bersifat tauqifi  atau harus ada dalil pasti yang menjelaskannya. Maksud dari pernyataan ini yaitu, ibadah boleh dilakukan jika ada dalil yang memerintahkannya atau boleh dilakukan jika tidak ada dalil yang melarangnya.
Selain hati yang kudu ikhlas dalam beribadah, agar sempurna dan diterima ibadah yang kita lakukan, kita kudu punya ilmunya. Baik ilmu tentang dasar yang mensyariatkan perbuatan yang kita lakukan atau ilmu mengenai tata cara pelaksanaannya. Ibnu Ruslan menyebut, orang yang beramal tanpa ilmu, maka amalnya tertolak alias tidak diterima.[2] ***





[1]   Syaikh al-Islam Ibnu Taimiyah, al-Ubudiyah, hal.6
[2]   Ibnu Ruslan, Matan al-Zubad, hal 3.

1 komentar: