[Majlis Akidah] Agama
atau dalam bahasa arab din memiliki
arti hubungan antara dua pihak, yang pertama kedudukannya lebih tinggi ketimbang
yang kedua. Semua kata yang menggunakan huruf dal, ya, dan nun, seperti
kata dain
(utang) atau kata dana yadinu (menghukum,
taat, dll), menggambarkan adanya pihak yang melakukan interaksi seperti di
atas. Karenanya,
agama diatikan sebagai hubungan antara makhluk dan khaliqnya. Hubungan ini
merasuk dalam batin seseorang, nampak dalam ibadah yang dilakukannya, dan
tercermin dalam sikap kesehariannya.
Sebagian
orang menganggap, sikap untuk beragama muncul dari rasa takut. Sikap ini
melahirkan pemberian sesajen kepada yang diyakini memiliki kekuatan yang
menakutkan (dinamisme). Ada
juga yang bilang, agama muncul dari cerita yang berkembang dari Oedipus. Kala itu, seorang anak yang
merasakan dorongan seksual terhadap ibunya, akhirnya membunuh ayahnya sendiri
yang menghalangi keinginannya. Pembunuhan itu melahirkan penyesalan pada jiwa
si anak, sehingga lahirnya penyembahan terhadap ruh sang ayah (animisme).
Sementara
itu, Islam menganggap bahwa benih agama muncul dari penemuan manusia terhadap
kebenaran, keindahan, dan kebaikan. Nabi Adam alaihissalam, sebagai manusia
pertama, menemukan keindahan pada alam raya, pada bintang yang gemerlapan,
bunga yang mekar, dan sebagainya.
Adam
juga menemukan kebaikan berupa rasa segar dari sepoi tiupan angin yang behembus
kala ia merasa gerah kepanasan dan rasa sejuk pada air saat ia kehausan.
Kemudian Adam juga menemukan kebenaran dalam ciptaan Tuhan yang terbentang di
alam raya dan di dalam dirinya sendiri. Gabungan ketiga hal ini melahirkan
kesucian.
Karena
manusia memiliki rasa ingin tahu, berusaha mendapatkan apakah yang paling
indah, baik dan benar? Jiwa dan
akalnya mengantarkannya bertemu dengan yang Mahasuci.
Ia berusaha berhubungan denganNya dan berusaha mencontoh sifat-sifatNya. Dari
sinilah Islam memandang lahirnya agama. Karenanya Islam menuntun manusia untuk
mencontoh sifat-sifat Tuhan yang Mahasuci.
Manusia
lahir tanpa memiliki pengetahuan sedikit pun. Dengan panca indera, akal, dan
jiwanya, perlahan pengetahuannya bertambah. Akan tetapi pengetahuan itu
bersifat terbatas karena indera dan akal yang menjadi sumbernya juga terbatas.
Karenanya manusia membutuhkan informasi tambahan sebagai panduan dan pedoman
hidupnya.
Sebagai
makhluk sosial, manusia nggak hidup sendiri, selalu berdampingan dengan yang
lain. Seperti lalu lintas, semua orang ingin berjalan dengan selamat dan cepat
sampai ke tujuan. Namun karena kepentingan mereka berlainan, akan terjadi
benturan dan tabrakan jika nggak ada peraturan yang mengatur lalu lintas
kehidupan itu.
Manusia
membutuhkan rambu-rambu lalu lintas yang akan memberinya petunjuk. Seperti traffic light, kapan harus berhenti
(merah), harus hati-hati (kuning), dan kapan seharusnya ia berjalan
(hijau). Lantas siapa yang mengatur lalu
lintas kehidupan? Manusia
punya kelemahan; keterbatasan pengetahuan, nafsu, dan sifat egois yang ingin
mendahulukan kepentingan pribadi di atas kepentingan orang lain. Karenanya
manusia membutuhkan Dzat yang paling mengetahui dan yang nggak punya keinginan
sedikit pun. Dialah Allah swt.
Allah
swt. menetapkan peraturan tersebut baik secara umum maupun terperinci.
Peraturan-peraturan itulah yang dinamakan agama. Oleh karenanya, agama dapat
diartikan sebagai ketetapan-ketetapan ilahi yang diwahyukan kepada NabiNya
untuk menjadi pedoman hidup manusia. ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar