"إن عدم العلم بالدليل ليس حجة والعلم بعدم الدليل حجة"

“Tidak mengetahui adanya dalil itu bukan hujjah, yang menjadi hujjah adalah mengetahui tidak adanya dalil.”


[Ibnu Quddamah]

Rabu, 05 Desember 2012

Makna Agama



[Majlis Akidah] Agama atau dalam bahasa arab din memiliki arti hubungan antara dua pihak, yang pertama kedudukannya lebih tinggi ketimbang yang kedua. Semua kata yang menggunakan huruf dal, ya, dan nun, seperti kata dain  (utang) atau kata dana yadinu (menghukum, taat, dll), menggambarkan adanya pihak yang melakukan interaksi seperti di atas. Karenanya, agama diatikan sebagai hubungan antara makhluk dan khaliqnya. Hubungan ini merasuk dalam batin seseorang, nampak dalam ibadah yang dilakukannya, dan tercermin dalam sikap kesehariannya.
Sebagian orang menganggap, sikap untuk beragama muncul dari rasa takut. Sikap ini melahirkan pemberian sesajen kepada yang diyakini memiliki kekuatan yang menakutkan (dinamisme). Ada juga yang bilang, agama muncul dari cerita yang berkembang dari Oedipus. Kala itu, seorang anak yang merasakan dorongan seksual terhadap ibunya, akhirnya membunuh ayahnya sendiri yang menghalangi keinginannya. Pembunuhan itu melahirkan penyesalan pada jiwa si anak, sehingga lahirnya penyembahan terhadap ruh sang ayah (animisme).
Sementara itu, Islam menganggap bahwa benih agama muncul dari penemuan manusia terhadap kebenaran, keindahan, dan kebaikan. Nabi Adam alaihissalam, sebagai manusia pertama, menemukan keindahan pada alam raya, pada bintang yang gemerlapan, bunga yang mekar, dan sebagainya.
Adam juga menemukan kebaikan berupa rasa segar dari sepoi tiupan angin yang behembus kala ia merasa gerah kepanasan dan rasa sejuk pada air saat ia kehausan. Kemudian Adam juga menemukan kebenaran dalam ciptaan Tuhan yang terbentang di alam raya dan di dalam dirinya sendiri. Gabungan ketiga hal ini melahirkan kesucian.
Karena manusia memiliki rasa ingin tahu, berusaha mendapatkan apakah yang paling indah, baik dan benar?    Jiwa dan akalnya mengantarkannya bertemu dengan yang Mahasuci. Ia berusaha berhubungan denganNya dan berusaha mencontoh sifat-sifatNya. Dari sinilah Islam memandang lahirnya agama. Karenanya Islam menuntun manusia untuk mencontoh sifat-sifat Tuhan yang Mahasuci.
Manusia lahir tanpa memiliki pengetahuan sedikit pun. Dengan panca indera, akal, dan jiwanya, perlahan pengetahuannya bertambah. Akan tetapi pengetahuan itu bersifat terbatas karena indera dan akal yang menjadi sumbernya juga terbatas. Karenanya manusia membutuhkan informasi tambahan sebagai panduan dan pedoman hidupnya.
Sebagai makhluk sosial, manusia nggak hidup sendiri, selalu berdampingan dengan yang lain. Seperti lalu lintas, semua orang ingin berjalan dengan selamat dan cepat sampai ke tujuan. Namun karena kepentingan mereka berlainan, akan terjadi benturan dan tabrakan jika nggak ada peraturan yang mengatur lalu lintas kehidupan itu. 
Manusia membutuhkan rambu-rambu lalu lintas yang akan memberinya petunjuk. Seperti traffic light, kapan harus berhenti (merah), harus hati-hati (kuning), dan kapan seharusnya ia berjalan (hijau).  Lantas siapa yang mengatur lalu lintas kehidupan? Manusia punya kelemahan; keterbatasan pengetahuan, nafsu, dan sifat egois yang ingin mendahulukan kepentingan pribadi di atas kepentingan orang lain. Karenanya manusia membutuhkan Dzat yang paling mengetahui dan yang nggak punya keinginan sedikit pun. Dialah Allah swt.
Allah swt. menetapkan peraturan tersebut baik secara umum maupun terperinci. Peraturan-peraturan itulah yang dinamakan agama. Oleh karenanya, agama dapat diartikan sebagai ketetapan-ketetapan ilahi yang diwahyukan kepada NabiNya untuk menjadi pedoman hidup manusia. ***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar