"إن عدم العلم بالدليل ليس حجة والعلم بعدم الدليل حجة"

“Tidak mengetahui adanya dalil itu bukan hujjah, yang menjadi hujjah adalah mengetahui tidak adanya dalil.”


[Ibnu Quddamah]

Jumat, 14 Desember 2012

Alquran Dokter Manusia

Ibarat dokter, alquran datang kepada manusia _sebagai pasien yang mengidap penyakit, melalui beberapa tahapan. Allah swt. berfirman, “Hai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu pelajaran [mau’zhah] dari Tuhanmu dan penyembuh [syifa] bagi penyakit-penyakit yang berada dalam dada dan petunjuk [huda] serta rahmat [rahmah] bagi orang-orang yang beriman.” (Yunus [10]:57).

Pertama, mauizhah alias ngasih saran. Dokter biasanya nanya apa yang dirasakan sama pasiennya, setelah itu dia melakukan diagnosa. Kemudian dokter pasti bakal ngasih tahu bahwa sakit pasiennya bakal sembuh dengan syarat menuruti apa saja yang diperintahkan demi kesembuhannya.

Kedua, syifa alias obat. Setelah ngasih saran dan pelajaran, dokter memberikan obat dan ngasih tahu aturan pakainya; berapa dosis yang sesuai untuk kesembuhan penyaki pasiennya. 

Ketiga, huda alias petunjuk. Dokter ngasih nasihat dan arahan bagaimana agar pasiennya selalu menjaga kesehatan dan melaksanakan pola hidup yang sehat. Sehingga penyakitnya nggak kambuh lagi atau dijangkiti oleh penyakit lain.

Keempat, dokter menyerahkan kepada pasien untuk menentukan sikap. Jika dia mengikuti saran dan nasehat yang sudah diberikan dengan baik, maka akan sembuh sehingga hidupnya bakal tentran dan bahagia alias rahmah.***

Senin, 10 Desember 2012

Membakar Kemenyan

[Majlis Ibadah] Bagi sebagian masyarakat, bau kemenyan diidentikan dengan ritual perdukunan atau pemanggilan roh. Sementara sebagian yang lain menganggapnya sebagai pengharum ruangan. Persoalan ini akan lebih bisa dipahami jika kita merujuk pada hokum asalnya.
Hukum asal benda adalah mubah alias boleh, selama tidak ada dalil yang mengharamkannya. Jika dupa atau kemenyan seperti yang biasa dibakar dan digunakan  pada acara pengajian akbar dan perayaan maulid, maka hukumnya sunah. Karena tujuannya untuk membuat wangi ruangan.
Namun jika digunakan untuk hal-hal yang bertentangan dengan Islam, seperti untuk memanggil roh atau jin kafir untuk membantu menyelesaikan urusan, maka hukumnya bisa haram. Jadi hukum membakar kemenyan atau dupa tergantung pada niatnya penggunaannya.
Rasulullah saw. sangat menyukai wangi-wangian, baik hasil ekstrak bunga ataupun dari pembakaran berupa kayu gaharu yang dirajang kecil-kecil seperti yang dilakukan oleh orang-orang Arab hingga kini. Tujuannya sebagai pengharum ruangan.
Beberapa sahabat seperti Abu Sa’id, Ibnu Umar, dan Ibnu ‘Abbas ra. berwasiat agar kain kafan mereka diukup (diasapi) dengan kayu gaharu. Beliau saw. sendiri memerintahkan para sahabat untuk mengukupi kain kafan mayit dengan ganjil, tiga kali. [HR. Ibnu Hibban, Al-Hakim, al-Dailami, dan Imam Ahmad] juga pada saat berkumpul di dalam mesjid mengadakan sebuah acara. [HR. Al-Thabrani]. ***

Sabtu, 08 Desember 2012

Ikhtiar Mengingat Mati


[Majlis Akidah] Berawal dari tanah dan bakal balik lagi ke tanah. Dengan segala kelemahan dan kehinaan asal penciptaannya, kita sebagai manusia kudunya sadar, tak layak sedikit pun untuk bersikap sombong alias takabbur. 
Harta yang kita banggakan ketika di dunia, nyatanya tidak dibawa hingga ke liang lahad kita. Seabreg-abreg harta yang kita kumpulkan waktu masih hidup, tak seperak pun diselipkan keluarga ke dalam kain kafan yang membungkus kita.
Tahta dan jabatan, nyatanya _ jika kita sudah meninggal, titel yang diberikan orang-orang yang menghormati kita di dunia cuma satu, almarhum atau almarhumah.  Hanya orang iseng yang numpang lewat sambil terbungkuk-bungkuk ketika melewati kuburan pejabat, mengejek bisa jadi.
Keluarga, orangtua, anak, kakak, adik, suami, isteri, sobat karib, kawan sejati, atau soulmate sekalipun, tak satu pun dari mereka yang mau menemani kita. Orang-orang yang mengaku menyayangi kita _dan kita juga sayang kepada mereka, tak satu pun yang rela dan ikhlas menemani kita di dalam kubur.
Mereka yang ikhlas sambil menahan sedih melihat jenazah kita terbujur kaku di pembaringan. Anggota keluarga yang memandikan kita dengan perlahan-lahan. Karib kerabat yang mengkafani kita dengan lembut penuh kasih sayang.  Saudara-saudara semuslim  yang ikhlas menshalatkan kita dengan empat takbir dan menguburkan kita. Semuanya meninggalkan kita.
Lantas, siapa yang sejatinya bakal menemani kita? Yang setia hingga kita ditimbun tanah dan ditinggalkan oleh orang-orang yang menyayangi kita? Yups! Betul. Hanya amal yang akan menemani kita. Hanya hasil dari perbuatan yang kita lakukan di dunia yang akan mendampingi kita. Lain tidak.  
Babak baru dalam perjalanan kita menuju Allah dimulai. Persis setelah orang-orang yang mengurus dan menangisi jenazah kita pulang ke rumahnya masing-masing.  Sejenak bersedih lantaran kehilangan kita. Tapi dalam waktu sebentar saja _ dijamin, mereka akan kembali sibuk dengan urusan-urusan mereka di dunia. Hanya yang ingat saja, yang sesekali menjenguk dan mendo’akan kita yang sudah tiada. ***

Semua Pasti Mati



[Majlis Akidah] Memikirkan mati memang bikin bulu kuduk merinding.  Paling tidak bikin kita berhenti sejenak, tertegun. Masa iya masih muda kudu mikirin mati? Tapi tenang saja. Tidak mungkin Allah dan Rasul menyuruh kita untuk sering-sering mengingat mati jika tak ada manfaatnya.
Kematian laksana pintu, begitu Rasul pernah menyatakan, setiap yang pernah hidup di dunia pasti memasukinya. Kematian itu resiko kehidupan. Tak seorang pun yang hidup kecuali akan mati. Karenanya jika tak mau mengalami mati, tidak usah hidup.  Dengan tegas al-quran menyatakan, setiap yang bernyawa akan merasakan kematian. (Ali Imran [03]: 185).
Jika ada seseorang yang berhak untuk hidup selama-lamanya, mungkin Rasulullah saw. paling berhak atas keistimewaan itu. Tapi nyatanya tidak. Jauh hari sebelum beliau wafat di usianya yang ke-63, Allah telah mengingatkan beliau akan kematian itu, sesungguhnya engkau akan mati sebagaimana mereka pun akan mati (Az-Zumar [39]:30).
Namun demikian, kita kudu memaklumi bahwa ada sebagian orang yang ketar-ketir dan sedih waktu menghadapi kematian. Mungkin karena memang takut atau karena belum siap menghadapinya.  Di antara manusia ada yang berkeinginan untuk hidup seribu tahu. (Al-Baqarah [2]:96).
Kita yang masih bernafas _masih hidup sehat wal ‘afiat, memang belum pernah merasakan kematian. (Ada yang mau coba?) Tapi dari penjelasan-penjelasan agama _baik al-quran atapun hadits Nabi, kita bisa menemukan bahwa kematian itu bukan sesuatu yang perlu ditakutkan.
Bukan Karena kematian tak akan menjumpai kita atau kita bisa lari darinya, tapi justru karena kita pasti mengalami dan senantiasa mempersiapkan kedatangannya.  Jika boleh berandai-andai, kematian itu ibarat tamu agung, maka harus ada persiapan khusus untuk menyambutnya.
Manusia terdiri dari dua unsur pokok; tanah dan ruh,  Keduanya tidak bisa dipisahkan. Jika terpisah, tidak lagi dikatakan sebagai manusia. Pertama kali manusia diciptakan dari tanah. Kemudian dihembuskan ruh setelah sempurna bentuknya (Shad [38]: 71-72).
Ada suatu saat ruh kita terpisah dari jasadnya. Saat tidur ruh kita digenggam oleh Allah dan dikembalikan lagi ketika kita terbangun. Jika kita sudah meninggal, maka ruh itu tetap dijaga dan dipelihara oleh Allah. (Az-Zumar [39]:42)
Ketika ditanya apa di surga ada tidur, Rasulullah saw. menjawab, “tidur itu saudara mati. Di surga tidak ada kematian, sehingga tak ada tidur.” (bukan berarti beliau saw. menyuruh kita untuk puas-puasin tidur ketika di dunia.)
Karenanya Rasulullah saw. mengajarkan kepada para sahabat _juga kepada kita umatnya, untuk membaca do’a setiap kali bangun tidur, “Segala puji bagi Allah yang telah menghidupkan kami setelah Dia mematikan kami.” (Artinya Allah membangunkan setelah menidurkan kita). Jika ngantuk itu nikmat dan tidur itu lebih nikmat, bukankah akan lebih nikmat lagi ketika kematian menjemput kita?
Kita percaya Allah yang menghidupkan dan mematikan kita. Kematian diberikan Allah kepada manusia yang pernah hidup di dunia. Setelah mati kita akan menuju Allah. Bukankah apa saja yang diberikan Allah itu baik?  Lagi pula, bukankah tempat yang akan kita tuju setelah melewati fase kematian itu tempat yang indah, yang luas, dan penuh dengan kenikmatan.
Memang, sikap manusia dalam menghadapi kematian akan beragam. Tergantung persiapan yang kita lakukan untuk menghadapinya. Orang yang yakin dan percaya bahwa tempat yang ditujunya lebih baik, dia akan merasa senang menuju tempatnya yang baru. Orang yang beriman, meninggal dalam keadaan tenang dan tersenyum. Karena ketika menghadapi kematian, mereka telah melihat dan merasakan kenikmatan-kenikmatan yang telah dijanjikan Allah. Kita simak firmanNya:
“Sesungguhnya orang-orang yang menyatakan (meyakini) bahwa Tuhan kami adalah Allah, kemudian istiqomah (berpegang teguh) dengan keyakinan tersebut, maka malaikat akan turun kepada mereka (di saat-saat kematian) sambil (menenangkan) dengan mengatakan, ‘Janganlah kamu merasa khawatir (menghadapi kematian), janganlah pula kamu merasa sedih (meninggalkan dunia dan keluarga), dan bergembiralah kamu dengan (memperoleh) surga yang telah dijanjikan Allah kepadamu. Kamilah Pelindung-pelindungmu dalam kehidupan dunia (bagi keluarga yang kamu tinggalkan) dan di akhirat (tempat kamu). Di dalamnya kamu memperoleh apa yang kamu inginkan dan memperoleh (pula) apa yang kamu minta.” (Fushilat [41]:30-31)
Ketika Ibrahim as. didatangi Izrail yang hendak mencabut nyawanya, ia berkata,  “Wahai Malaikat Maut. Bukankah aku ini khalilullah (kekasih Allah). Adakah kekasih yang menghendaki kekasihnya mati?” Izrail yang tak menemukan jawaban yang pasti, kembali ke hadapan Allah dan menyampaikan apa yang dikatakan Nabi Ibrahim as.
Kemudian Allah berfirman kepadanya, “Hai Izrail, sampaikan salamku kepada Ibrahim. Katakanlah kepadanya, ‘Adakah kekasih yang tak ingin segera bertemu dengan kekasihnya?’" Izrail menyampaikan apa yang telah diamanahkan kepadanya. Mendengar itu, Nabi Ibrahim pun bersedia dicabut nyawanya, tentunya dengan husnul khotimah.
Sebaliknya, orang akan takut dan khawatir meninggalkan dunia ini jika merasa tempat yang akan ditujunya lebih buruk dan lebih sempit ketimbang tempatnya di dunia.
Allah menggambarkan keadaan mereka ketika menghadapi kematian, “Kalau kamu melihat ketika para malaikat mencabut jiwa orang-orang yang kafir seraya memukul muka dan belakang mereka dan berkata, "Rasakan olehmu siksa neraka yang membakar". tentulah kamu akan melihat suatu pemandangan yang sangat mengerikan.” (Al-Anfaal [8]:50)
Suka atau tidak suka, kematian pasti datang. Izrail akan menemui kita untuk melaksanakan tugasnya. Senang atau tidak senang dalam menghadapi kematian, semua tergantung pada sikap kita dan bagaimana cara kita mempersiapkannya. Orang yang senang bertemu dengan Allah, maka Allah akan senang bertemu dengannya. Sementara orang yang suka bertemu dengan Allah, maka Allah tidak akan suka bertemu dengannya.
Rasulullah saw. bersabda, “Seorang mukmin apabila diberi kabar gembira dengan rahmat Allah, keridaan dan surga-Nya, maka dia akan senang bertemu dengan Allah dan Allah akan senang bertemu dengannya. Dan orang kafir apabila diberitahukan tentang siksaan serta kemurkaan Allah, maka dia akan membenci pertemuan dengan Allah sehingga Allah pun akan membenci pertemuan dengannya. (Shahih Muslim No.4845 hadits dari Aisyah ra.)
Sejatinya orang yang senang bertemu dengan Allah, yang telah diberi kabar gembira dengan rahmat, ridha, dan surganya, sudah pasti akan mempersiapkan perbekalan sebelum ajal menjemputnya. Allah swt berfirman, "Barang siapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorang pun dalam beribadah kepada Tuhannya." (Al-Kahfi [18: 110) ***

Rabu, 05 Desember 2012

Makna Ibadah

[Majlis Ibadah] Ibadah secara bahasa _diambil dari bahasa Arab, artinya melayani, patuh, atau tunduk. Orang yang melakukan ibadah disebut ‘abid alias hamba atau budak. Apa yang dimiliki seorang budak? Tidak punya apa-apa. Bahkan, dirinya sendiri pun milik tuannya. Karenanya semua aktivitas yang dilakukan seorang hamba hanya untuk memperoleh keridhaan tuannya.
Sebagai makhluk yang diciptakan Allah, manusia kudunya sadar bahwa ia hidup hanya untuk melakukan penghambaan kepada Allah. Sebagai konsekuensi telah dilahirkan, diberi rizki dan akal pikiran, serta kesehatan sehingga bisa menjalani kehidupan ini dengan semestinya. Penghambaan inilah yang dinamakan dengan ibadah. Allah menegaskan bahwa manusia juga jin _baik yang beriman atau yang kafir, diciptakan untuk beribadah kepadaNya (al-Dzariyat: 56).
Apa yang dimaksud dengan ibadah? Allah menegaskan ibadah sebagai jalan yang lurus (Yasin: 61) Sedangkan orang-orang yang berada di jalan yang lurus itu adalah mereka yang berpegang teguh pada apa yang telah diwahyukan Allah (Al-Zukhruf :43). Karenanya seseorang dikatakan beribadah kepada Allah jika dalam menjalani hidupnya selalu berpegang teguh pada wahyu Allah.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengartikan ibadah sebagai segala sesuatu yang dicintai Allah dan diridhai-Nya, baik berupa perkataan maupun perbuatan, yang tersembunyi (batin) maupun yang nampak (lahir).[1]
Apa saja yang kita lakukan, entah itu shalat, baca al-quran, belajar di sekolah, diskusi sama temen-temen, berbakti sama ortu, atau ngasih makan kucing kelaparan di pinggir jalan, jika mengharapkan keridhaan Allah, maka akan dinilai ibadah. Saking luasnya makna ibadah, ulama membaginya menjadi dua kategori, yaitu ibadah mahdhah dan ghair mahdhah.
Ibadah mahdhah yaitu ibadah murni yang secara khusus melibatkan hubungan hamba dengan Tuhannya seperti shalat dan puasa. Karenanya dalam menjalankan ibadah mahdah ini dilandaskan pada asas ketaatan, kudu bersumber dari dalil yang jelas, dan tatacaranya kudu mengikuti apa yang sudah dicontohkan oleh Rasul (an-Nisa:46). Selain itu, ukuran ibadah mahdhah tidak didasarkan pada logika. Artinya tidak semua perintah itu harus dipahami oleh akal.
Ada beberapa perintah ibadah yang tidak bisa dijangkau oleh akal karena sifatnya yang terbatas. Misalnya buang angin alias kentut yang membatalkan wudhu. Agama tidak menganjurkan untuk membersihkan dubur ketika mau shalat, tapi cukup dengan berwudhu lagi. Dengan demikian, ibadah mahdhah dirumuskan sebagai perbuatan yang dilakukan karena Allah dan sesuai syariat.
Sedangkan ibadah ghair mahdhah yaitu ibadah yang hubungannya tidak semata melibatkan hamba dengan Tuhannya, tetapi juga hubungan hamba dengan makhluk Allah yang lain. Perbuatan ini boleh dilakukan asal tidak ada dalil yang melarangnya. Tata cara pelaksanaannya juga tidak harus seperti apa yang dilakukan oleh Rasul karena ada beberapa aktivitas di zaman sekarang yang tidak pernah ada di zaman Rasulullah. Inilah yang disebut dengan bid’ah hasanah.
Ibadah ghair mahdhah sifatnya rasional alias bisa diperhitungkan baik dan buruknya oleh akal. Karenanya asas yang digunakan dalam melaksanakan ibadah ini bukan ketaatan, tetapi asas manfaat. Jika perayaan maulid nabi itu bertujuan untuk mensyiarkan Islam dan menambah kecintaan kepada Rasul, maka boleh dilakukan meskipun di zaman Rasul dan para sahabat, praktik tersebut belum pernah ada. Karenanya ibadah ghair mahdhah dirumuskan sebagai perbuatan baik yang dilakukan karena Allah.
Kaidah ushul fikh menyebutkan, asal ibadah itu dilarang sebelum ada dalil yang mensyariatkannya. Artinya bersifat tauqifi  atau harus ada dalil pasti yang menjelaskannya. Maksud dari pernyataan ini yaitu, ibadah boleh dilakukan jika ada dalil yang memerintahkannya atau boleh dilakukan jika tidak ada dalil yang melarangnya.
Selain hati yang kudu ikhlas dalam beribadah, agar sempurna dan diterima ibadah yang kita lakukan, kita kudu punya ilmunya. Baik ilmu tentang dasar yang mensyariatkan perbuatan yang kita lakukan atau ilmu mengenai tata cara pelaksanaannya. Ibnu Ruslan menyebut, orang yang beramal tanpa ilmu, maka amalnya tertolak alias tidak diterima.[2] ***





[1]   Syaikh al-Islam Ibnu Taimiyah, al-Ubudiyah, hal.6
[2]   Ibnu Ruslan, Matan al-Zubad, hal 3.

Makna Agama



[Majlis Akidah] Agama atau dalam bahasa arab din memiliki arti hubungan antara dua pihak, yang pertama kedudukannya lebih tinggi ketimbang yang kedua. Semua kata yang menggunakan huruf dal, ya, dan nun, seperti kata dain  (utang) atau kata dana yadinu (menghukum, taat, dll), menggambarkan adanya pihak yang melakukan interaksi seperti di atas. Karenanya, agama diatikan sebagai hubungan antara makhluk dan khaliqnya. Hubungan ini merasuk dalam batin seseorang, nampak dalam ibadah yang dilakukannya, dan tercermin dalam sikap kesehariannya.
Sebagian orang menganggap, sikap untuk beragama muncul dari rasa takut. Sikap ini melahirkan pemberian sesajen kepada yang diyakini memiliki kekuatan yang menakutkan (dinamisme). Ada juga yang bilang, agama muncul dari cerita yang berkembang dari Oedipus. Kala itu, seorang anak yang merasakan dorongan seksual terhadap ibunya, akhirnya membunuh ayahnya sendiri yang menghalangi keinginannya. Pembunuhan itu melahirkan penyesalan pada jiwa si anak, sehingga lahirnya penyembahan terhadap ruh sang ayah (animisme).
Sementara itu, Islam menganggap bahwa benih agama muncul dari penemuan manusia terhadap kebenaran, keindahan, dan kebaikan. Nabi Adam alaihissalam, sebagai manusia pertama, menemukan keindahan pada alam raya, pada bintang yang gemerlapan, bunga yang mekar, dan sebagainya.
Adam juga menemukan kebaikan berupa rasa segar dari sepoi tiupan angin yang behembus kala ia merasa gerah kepanasan dan rasa sejuk pada air saat ia kehausan. Kemudian Adam juga menemukan kebenaran dalam ciptaan Tuhan yang terbentang di alam raya dan di dalam dirinya sendiri. Gabungan ketiga hal ini melahirkan kesucian.
Karena manusia memiliki rasa ingin tahu, berusaha mendapatkan apakah yang paling indah, baik dan benar?    Jiwa dan akalnya mengantarkannya bertemu dengan yang Mahasuci. Ia berusaha berhubungan denganNya dan berusaha mencontoh sifat-sifatNya. Dari sinilah Islam memandang lahirnya agama. Karenanya Islam menuntun manusia untuk mencontoh sifat-sifat Tuhan yang Mahasuci.
Manusia lahir tanpa memiliki pengetahuan sedikit pun. Dengan panca indera, akal, dan jiwanya, perlahan pengetahuannya bertambah. Akan tetapi pengetahuan itu bersifat terbatas karena indera dan akal yang menjadi sumbernya juga terbatas. Karenanya manusia membutuhkan informasi tambahan sebagai panduan dan pedoman hidupnya.
Sebagai makhluk sosial, manusia nggak hidup sendiri, selalu berdampingan dengan yang lain. Seperti lalu lintas, semua orang ingin berjalan dengan selamat dan cepat sampai ke tujuan. Namun karena kepentingan mereka berlainan, akan terjadi benturan dan tabrakan jika nggak ada peraturan yang mengatur lalu lintas kehidupan itu. 
Manusia membutuhkan rambu-rambu lalu lintas yang akan memberinya petunjuk. Seperti traffic light, kapan harus berhenti (merah), harus hati-hati (kuning), dan kapan seharusnya ia berjalan (hijau).  Lantas siapa yang mengatur lalu lintas kehidupan? Manusia punya kelemahan; keterbatasan pengetahuan, nafsu, dan sifat egois yang ingin mendahulukan kepentingan pribadi di atas kepentingan orang lain. Karenanya manusia membutuhkan Dzat yang paling mengetahui dan yang nggak punya keinginan sedikit pun. Dialah Allah swt.
Allah swt. menetapkan peraturan tersebut baik secara umum maupun terperinci. Peraturan-peraturan itulah yang dinamakan agama. Oleh karenanya, agama dapat diartikan sebagai ketetapan-ketetapan ilahi yang diwahyukan kepada NabiNya untuk menjadi pedoman hidup manusia. ***

Makna Iqra'



[Majlis Umum] Kata pertama dari wahyu pertama yang diterima oleh Nabi Muhammad saw. adalah Iqra alias perintah membaca. Lantaran begitu penting, dalam rangkaian wahyu pertama tersebut, kata ini diulang sebanyak dua kali.
Sebelum turunnya al-Quran, Rasulullah saw. nggak pernah membaca satu kitab pun (Al-Ankabut:48). Berulang-ulang, Malaikat Jibril menyampaikan kata iqra itu sambil merangkul beliau, namun beliau masih keukeuh memastikan, “Saya tidak bisa baca.” Meski demikian, perintah iqra di sini nggak hanya buat pribadi beliau semata, tapi ditujukan bagi seluruh umat manusia.
“Apa yang mesti dibaca?” Dalam banyak ayat ditemukan, objek kata iqra dan turunannya memiliki arti yang sangat luas; ayat tertulis dan yang nggak tertulis (Al-Isra: 14 dan 45). Iqra mencakup telaah terhadap alam raya, masyarakat, dan diri sendiri. Jadi sifatnya masih umum, bisa ayat-ayat suci, majalah, koran, dan sebagainya.
Tapi sobat, perintah iqra yang memiliki arti membaca, meneliti, dan menghimpun ini dikaitkan dengan kata “bismi rabbika” (dengan nama Tuhanmu). Artinya selain membacanya dengan ikhlas, kita dituntut kudu pandai memilih bahan bacaan dan menghindari bacaan-bacaan yang menjauhkan kita dari keridaanNya.
Kata iqra selanjutnya dikaitkan dengan kata “wa rabbuka al-akram” yang mengandung arti, Tuhan  bakal ngasih segala yang terpuji bagi siapa saja yang gemar membaca. Orang yang membaca_ apapun iti, jika ikhlas karena Allah, maka Allah bakal ngasih dia ilmu pengetahuan, pemahaman, dan wawasan-wawasan baru meskipun yang dibacanya itu-itu juga.
Dengan membaca, tugas manusia sebagai hamba dan khalifah Allah bakal terlaksana dengan baik. Iqra  merupakan jalan yang mengantarkan pada derajat kemanusiaan yang sempurna. Semakin luas pembacaan, semakin tinggi peradaban.
Ilmu nggak bisa diperoleh tanpa terlebih dahulu melakukan qiraat, membaca dalam arti yang luas. Tugas sebagai khalifah, menuntut hubungan manusia dengan manusia, dengan alam, dan hubungan dengan Allah. Melaksanakan tugas itu butuh bimbingan pengenalan terhadap alam raya. Pengenalan ini nggak bakal tercapai tanpa usaha qiraat; membaca, menelaah, dan mengkaji.
Moyang kita, Nabi Adam as. memperoleh ilmu dengan membaca. Dengan ilmu, ia memiliki kelebihan ketimbang Malaikat yang meragukan kemampuan manusia buat jadi khalifah dalam membangun peradaban. Dengan ibadah yang didasari oleh ilmu yang benar, manusia menduduki tempat terhormat, sejajar, bahkan melebihi kedudukan umumnya malaikat. 
Membaca jadi syarat pertama dan utama bagi keberhasilan manusia. Berdasarkan hal tersebut, nggak heran jika iqra  menjadi tuntunan pertama yang diberikan oleh Allah swt. kepada manusia. ***