"إن عدم العلم بالدليل ليس حجة والعلم بعدم الدليل حجة"

“Tidak mengetahui adanya dalil itu bukan hujjah, yang menjadi hujjah adalah mengetahui tidak adanya dalil.”


[Ibnu Quddamah]

Kamis, 28 Maret 2013

Tahlil dan Takziyah

Tahlil, orang menyebutnya lantaran salah satu dzikir yang dibaca adalah kalimat tauhid, la ilaha illallah. Ngariung, karena dilaksanakan secara berjama'ah. Tujuannya untuk takziyah, menunjukkan empati dan simpati, juga dorongan semangat agar keluarga yang ditinggalkan tetap tabah dan sabar. Bukan sebagai ratapan atau penunjukkan prestise atau kelas di masyarakat. 

Para tamu atau pentakziyah sebenarnya amat paham akan kondisi keluarga yang ditinggalkan. Karenanya tak usah kau berlebihan, ala kadarnya saja; sebatas penghormatan terhadap tamu. Sedekah yang kau usahakan, bisa kau pergunakan dari sebagian harta yang kau miliki. Sebagai bentuk penghormatan dan takzhimmu pada orang yang kau kasihi. 

Jika kau bisa mengusahakan, tak usah kau ambil sedekah itu dari tirkah [peninggalan] si mayyit. Khawatir ada salah satu keluargamu yang tidak rida. Kau memiliki kewajiban untuk mengurus utang-piutangnya. Jika sudah selesai, baru kau dan keluargamu yang lain _yang mendapat hak waris, berhak untuk menerima bagiannya.  [Al Fatat al-Taamm wa al-Kubra al-Fikhiyyah, Ibn Hajar]

Mengenai pahala, kau tidak usah pusingkan itu. Jika kita yang menyampaikan, mungkin _secara pasti, tidak bisa menyampaikannya. Tapi jika kau yakin bahwa urusan pahala adalah hak Allah, kau musti berlapang dada jika pahala itu sampai ke si mayyit. Namun jika kau masih belum yakin, anggaplah pahala bagi si mayyit bukan pahala dari bacaan dan dzikirnya, tapi pahala karena memiliki anak yang salih sepertimu. Anak-anak dan keluarga yang mendo'akan orangtua dan kerabatnya. 

Mustinya kau ingat salah satu petuahnya, al Mayyitu kal Gharqa. Kau siapkan saja pelampung untuk menolongnya. Pelampung itu bisa berupa sedekah atau dzkir dan do'a yang kau khususkan baginya.  Sebagaimana kau senang ketika berkumpul di dunia _sebagai tempat beramal, dengannya, mustilah kau akan sangat berbahagia jika kembali dikumpulkan  di akhirat kelak bersamanya; di surga sebagai tempat menerima balasan. Wallahu A'lam

Jumat, 22 Februari 2013

Godaan Gajah

Suatu hari, Imam Malik tengah menyampaikan pelajaran dalam sebuah majlis di Madinah. Suatu ketika konsentrasi murid-muridnya buyar lantaran seekor gajah mengamuk di luar majlis. 

Binatang bertubuh besar yang memang langka di gurun pasir itu membuat mereka semua berhamburan keluar dan melihatnya sebagai hiburan. Hanya Yahya bin Yahya yang tak keluar dan tetap duduk di tempatnya.

“Kenapa kamu tidak ikut keluar melihat gajah bersama yang lain?” kata Imam Malik, “Saya memahami keinginan mereka. Saya juga tidak akan memarahi kamu!”

“Saya datang dari negeri yang sangat jauh,” kata Yahya, “Saya datang dari Andalusia ke Madinah untuk mencari ilmu dan berguru kepadamu, bukan untuk melihat gajah.”



* Yahya bin Yahya merupakan sosok sohor pada Abad kedua Hijriah. Karena keluasan ilmunya ia dikenal dengan nama ‘aqil al-andalusi.

Jumat, 14 Desember 2012

Alquran Dokter Manusia

Ibarat dokter, alquran datang kepada manusia _sebagai pasien yang mengidap penyakit, melalui beberapa tahapan. Allah swt. berfirman, “Hai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu pelajaran [mau’zhah] dari Tuhanmu dan penyembuh [syifa] bagi penyakit-penyakit yang berada dalam dada dan petunjuk [huda] serta rahmat [rahmah] bagi orang-orang yang beriman.” (Yunus [10]:57).

Pertama, mauizhah alias ngasih saran. Dokter biasanya nanya apa yang dirasakan sama pasiennya, setelah itu dia melakukan diagnosa. Kemudian dokter pasti bakal ngasih tahu bahwa sakit pasiennya bakal sembuh dengan syarat menuruti apa saja yang diperintahkan demi kesembuhannya.

Kedua, syifa alias obat. Setelah ngasih saran dan pelajaran, dokter memberikan obat dan ngasih tahu aturan pakainya; berapa dosis yang sesuai untuk kesembuhan penyaki pasiennya. 

Ketiga, huda alias petunjuk. Dokter ngasih nasihat dan arahan bagaimana agar pasiennya selalu menjaga kesehatan dan melaksanakan pola hidup yang sehat. Sehingga penyakitnya nggak kambuh lagi atau dijangkiti oleh penyakit lain.

Keempat, dokter menyerahkan kepada pasien untuk menentukan sikap. Jika dia mengikuti saran dan nasehat yang sudah diberikan dengan baik, maka akan sembuh sehingga hidupnya bakal tentran dan bahagia alias rahmah.***

Senin, 10 Desember 2012

Membakar Kemenyan

[Majlis Ibadah] Bagi sebagian masyarakat, bau kemenyan diidentikan dengan ritual perdukunan atau pemanggilan roh. Sementara sebagian yang lain menganggapnya sebagai pengharum ruangan. Persoalan ini akan lebih bisa dipahami jika kita merujuk pada hokum asalnya.
Hukum asal benda adalah mubah alias boleh, selama tidak ada dalil yang mengharamkannya. Jika dupa atau kemenyan seperti yang biasa dibakar dan digunakan  pada acara pengajian akbar dan perayaan maulid, maka hukumnya sunah. Karena tujuannya untuk membuat wangi ruangan.
Namun jika digunakan untuk hal-hal yang bertentangan dengan Islam, seperti untuk memanggil roh atau jin kafir untuk membantu menyelesaikan urusan, maka hukumnya bisa haram. Jadi hukum membakar kemenyan atau dupa tergantung pada niatnya penggunaannya.
Rasulullah saw. sangat menyukai wangi-wangian, baik hasil ekstrak bunga ataupun dari pembakaran berupa kayu gaharu yang dirajang kecil-kecil seperti yang dilakukan oleh orang-orang Arab hingga kini. Tujuannya sebagai pengharum ruangan.
Beberapa sahabat seperti Abu Sa’id, Ibnu Umar, dan Ibnu ‘Abbas ra. berwasiat agar kain kafan mereka diukup (diasapi) dengan kayu gaharu. Beliau saw. sendiri memerintahkan para sahabat untuk mengukupi kain kafan mayit dengan ganjil, tiga kali. [HR. Ibnu Hibban, Al-Hakim, al-Dailami, dan Imam Ahmad] juga pada saat berkumpul di dalam mesjid mengadakan sebuah acara. [HR. Al-Thabrani]. ***

Sabtu, 08 Desember 2012

Ikhtiar Mengingat Mati


[Majlis Akidah] Berawal dari tanah dan bakal balik lagi ke tanah. Dengan segala kelemahan dan kehinaan asal penciptaannya, kita sebagai manusia kudunya sadar, tak layak sedikit pun untuk bersikap sombong alias takabbur. 
Harta yang kita banggakan ketika di dunia, nyatanya tidak dibawa hingga ke liang lahad kita. Seabreg-abreg harta yang kita kumpulkan waktu masih hidup, tak seperak pun diselipkan keluarga ke dalam kain kafan yang membungkus kita.
Tahta dan jabatan, nyatanya _ jika kita sudah meninggal, titel yang diberikan orang-orang yang menghormati kita di dunia cuma satu, almarhum atau almarhumah.  Hanya orang iseng yang numpang lewat sambil terbungkuk-bungkuk ketika melewati kuburan pejabat, mengejek bisa jadi.
Keluarga, orangtua, anak, kakak, adik, suami, isteri, sobat karib, kawan sejati, atau soulmate sekalipun, tak satu pun dari mereka yang mau menemani kita. Orang-orang yang mengaku menyayangi kita _dan kita juga sayang kepada mereka, tak satu pun yang rela dan ikhlas menemani kita di dalam kubur.
Mereka yang ikhlas sambil menahan sedih melihat jenazah kita terbujur kaku di pembaringan. Anggota keluarga yang memandikan kita dengan perlahan-lahan. Karib kerabat yang mengkafani kita dengan lembut penuh kasih sayang.  Saudara-saudara semuslim  yang ikhlas menshalatkan kita dengan empat takbir dan menguburkan kita. Semuanya meninggalkan kita.
Lantas, siapa yang sejatinya bakal menemani kita? Yang setia hingga kita ditimbun tanah dan ditinggalkan oleh orang-orang yang menyayangi kita? Yups! Betul. Hanya amal yang akan menemani kita. Hanya hasil dari perbuatan yang kita lakukan di dunia yang akan mendampingi kita. Lain tidak.  
Babak baru dalam perjalanan kita menuju Allah dimulai. Persis setelah orang-orang yang mengurus dan menangisi jenazah kita pulang ke rumahnya masing-masing.  Sejenak bersedih lantaran kehilangan kita. Tapi dalam waktu sebentar saja _ dijamin, mereka akan kembali sibuk dengan urusan-urusan mereka di dunia. Hanya yang ingat saja, yang sesekali menjenguk dan mendo’akan kita yang sudah tiada. ***